//
you're reading...
Uncategorized

Istishhab dalam Menentukan Hukum Subhat

Salah satu cara yang ditawarkan Imam Al-Ghazali dalam hal mempertahankan sikap Wara’ seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu yang dianggap berhukum “Subhat” (dalam istilah al-Ghazali disebut hukum tengah-tengah/mutawassyithah), adalah dengan penggunaan metode “Istishhab“. metode ini digunakan untuk menghindari keraguan antara haram dan halal yang seimbang dan tidak indikasi dugaan yang kuat pada salah satunya (muta’adil).

Contoh 1: Jika seseorang memanah buruan, dan buruan tersebut terlihat terkena panahnya, namun kemudian jatuh ke dalam air dan ditemukan mati dalam air. Maka hukum asalh dari hewan tersebut adalah haram, karena saat ditemukan mati ia berada dalam air, yang menunjukkan sebab matinya karena tenggelam dalam air itu. Namun ada dugaan hukum halal padanya, karena sebelumnya hewan itu terlihat terkena panah, sehingga ada dugaan ia mati karena panah tersebut. Kedua dugaan ini seimbang tidak ada indikasi yang dapat menguatkan salah satunya. Maka dilakukan Istishhab (mengembalikan pada hukum asal), yaitu pada hukum haram. Artinya standar wara’ seseorang adalah ketika meninggalkan hewan tersebut, walaupun ada pada daerah “Subhat“.

Contoh 2: Jika dua orang pria yang menikahi masing-masing seorang istri melihat seekor burung terbang di hadapan mereka, dan salah satunya berkata; “jika burung yang terbang itu burung gagak, maka istriku aku talak”, yang lain lalu juga menyahut; “dan jika burung itu ternyata bukan burung gagak, maka istriku aku talak”. Masing-masing istri kedua pria tersebut tetap tidak tertalak, selama burung tersebut tidak teridentifikasi sebagai burung gagak atau bukan.

Sumber: Ihya’ Ulumuddin

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Nomor Anda

  • 102.909 hits

Kategori